SEJARAH
ENTOMOLOGI KESEHATAN
Serangga merupakan
kelompok hewan yang terbesar jumlah spesiesnya dibanding hewan yang lain. Saat
ini terdapat sekitar 1 juta spesies serangga yang telah berhasil dikenali
namun, jumlah spesies yang sebenarnya belum diketahui secara pasti, karena
masih banyak yang belum teridenifkasi. Entomologi adalah cabang sains yang mengkaji mengenai
serangga. Kata entomologi berasal dari bahasa Latin, yaitu : “
Entomon" yang berarti "serangga”, dan “logos" yang berarti,
"ilmu”.
Perhatian manusia terhadap
serangga telah diberikan sejak ribuan tahun yang lalu. Bangsa Mesir Kuno
menghubungkan serangga dengan aspek kehidupan keseharian mereka, seperti
pertanian. Serangan belalang terhadap tanaman pertanian telah dilaporkan selama
pemerintahan Ramses II, 1.400 tahun sebelum Masehi. Serangga juga pernah
dihubungkan dengan kenegaraan, misalnya digunakannya tawon endas (Vespa
orientalis) sebagai lambang negara Mesir Bawah pada tahun 3100 sebelum Masehi,
dan bahkan “ketuhanan”, serta aspek sosial lainnya. Penggunaan kumbang “skarab”
sebagai lambang Dewa Matahari Khephri atau Khepera yang disembah, merupakan hal
yang tak asing dalam kebudayaan Mesir Kuno. Di Yunani, orang Ephesus (sekarang
bagian dari Turki) menggunakan gambar tawon untuk menandai uang logam yang
beredar pada tahun 400-an sebelum Masehi (Sheedy, 2005). Kitab Injil juga
menyebutkan peran berbagai kehidupan serangga dalam kehidupan manusia. Di dalam
Injil Matius (Matius 3:4) ditulis bahwa makanan Yohanes Pembaptis berupa
belalang dan madu hutan. Kitab Al Quran (Sura 16) memuat uraian tentang lebah
madu. Orang Indian Kuno di Amerika Selatan menggunakan serangga, khususnya
kupu-kupu, sebagai inspirasi karya seninya, misalnya untuk motif sulaman dan
kerajinan keramik, sedangkan Indian modern menggunakan juga serangga sebagai
lambang.
Seiring kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, entomologi juga mendapat sentuhan kemajuan untuk
mengimbangi kemajuan ilmu pada umumnya. Seiring pula perkembangan di zaman
pembaharuan “renaissance” – pada bagian kedua zaman ini (tahun 1000-1500) –
dibarengi dengan penjelajahan manusia ke dalam dunia serangga untuk menumbuhkan
entomologi menjadi ilmu yang makin mantap, sehingga kegunaan entomologi dapat
ditingkatkan untuk kesejahteraan manusia.
Manfaat entomologi untuk
manusia berhubungan dengan hidup sejahtera, yaitu hidup sehat, tercukupi segala
kebutuhannya, serta terjamin keamanannya. Dalam bidang kesehatan, entomologi
telah membantu manusia mengatasi masalah penyakit yang ditularkan serangga,
seperti malaria, demam berdarah, chikukunguya, kaki gajah, kebutaan dan
penyakit tidur. Entomologi terbukti pula dapat didayagunakan dalam penyediaan
pangan dan bahan industri, misalnya sutera, lak, malam, madu, dan bahkan tubuh
serangga sendiri.
Pada tahun 1347 suatu wabah penyakit menyerang
hamper seluruh Eropa. Sekitar sepertiga populasi manusia di Eropa menonggal
karena wabah penyakit. Wabah yang
dikenal dengan sebutan mati hitam (black
death) atau wabah bubonic (bubonic plaque) ini menyebabkan
ketakutan besar dan memberi dampak yang lebih besar bagi masa depan inggris
disbandingkan dengan Negara-negara Eropa yang lain. Penyakit ini disebabkan
oleh pinjal tikus yang kini dikenal sebagai Xenopsylla cheopis (Pulicidae). Mercurialis pada tahun 1477 menyatakan keyakinannya
bahwa lalat dapat menularkan penyakit dari tubuh orang sakit atau yang sudah
meninggal ke orang lain melalui makanan yang dihinggapi. Pada tahun 1587,
seorang brazil bernama Gabriel Soares de Souza menyatakan bahwa lalat menghisap
racun dari penyakit patek (Framboesia
tropica) dan meninggalkannya pada luka yang terdapat pada orang sehat.
Penemuan mikroskop terutama oleh Anthony van Leeunwenhoek pada pertengahan abad
ke-17 membuka era baru bagi mikrobiologi. Dengan adanya penemuan tersebut orang
dapat melihat mikroorganisme seperti protozoa dan bakteri dengan pembersaran
sampai 200 kali. Penemuan mikroskop juga membuka bagi pengembangan entomologi
kedokteran. Kemudian, pada 1907 Castellani membuktikan kebenaran hipotesis de
Souza dengan mendemonstrasikan bahwa lalat merupakan agen yang menularkan
penyakit patek yang disebabkan oleh Treponema
pertenue.
Pada akhir abad ke-19 entomologi kedokteran telah berkembang
dengan lebih cepat ditandai dengan semakin banyaknya penemuan berbagai jenis
penyakit manusia dan hewan yang terbukti dapat ditularkan oleh serangga. Pada
1878, Patrick Manson menemukan nematode, Wucheria
bancrofti dalam tubuh nyamuk Culex
pipiens quinquefasciatus, yang kemudian bersama dengan para ahli lainnya
membuktikan bahwa nyamuk ini merupakan vector penyakit filariasis (kaki gajah)
pada manusia. Laveran (1880), menemukan penyebab penyakit malaria pada manusia,
yaitu Plasmodium malariae yang hidup
sebagai parasite dalam sel darah merah manusia. Sampai akhir abad ke-19 masih
banyak lagi jenis-jenis serangga dan tungau yang dibuktikan menjadi vector
penyakit pada manusia atau hewan. Diantaranya adalah demam ternak sapi Texas, Babisia bigemina, yang dapat ditularkan
oleh lalat tsetse, Glossina morsitans, dan penyakit malaria ditemukan oleh Bastianelli
pada tahun 1899 ditularkan oleh nyamuk Anopheles.
Carlos Finlay mengemukakan suatu teori bahwa penyakit demam kuning
ditularkan oleh nyamuk (tahun 1880). Teori ini kemudian dibuktikan oleh Komisi
Demam Kuning Amerika Serikat pada tahun 1900 yang menyebutkan bahwa
sesungguhnya nyamuk Aedes aegypti adalah vektor utama penyakit demam kuning.
Semakin banyak jenis serangga yang ditemukan berperan penting
dalam penyebaran penyakit manusia maupun hewan seperti penyakit change, trypanosomiasis (penyakit
tidur), turalemia, onchocerciasis, demam
berdarah,encephalitis, cikungunya,
dan berbagai jenis penyakit virus lainnya.
Entomologi di Indonesia
Di Indonesia, hubungan manusia dengan
serangga ini telah lama disadari, sejak dongeng rakyat dan perumpamaan mulai
diceritakan turun-temurun dari mulut ke mulut. Cerita yang juga berbentuk
tembang telah mengungkapkan ciri atau peri laku serangga tertentu, tetapi
pengetahuan tersebut masih dalam bentuk semu dan samar-samar, belum terwujud
sebagai ilmu pengetahuan.
Pada awalnya, entomologi
datang ke Indonesia hanya sebagai “tamu”. Ilmu ini masuk ke dan keluar dari
Indonesia tanpa meninggalkan bekas karena tidak ada sarana atau perangkat yang
tersedia untuk menerimanya. Begitu tamu kembali ke tempat asalnya, kembali
pulalah ilmu itu dan meninggalkan Indonesia. Keadaan ini terus berlangsung
sampai para ilmuwan entomologi itu menyadari benar perlunya menumbuhkan
entomologi di Indonesia sendiri. Gagasan ini tidak muncul ketika pada akhir
abad ke-19, tahun 1894, didirikan laboratorium serangga di Bogor. Waktu inilah
titik awal diresmikannya penumbuhan entomologi di Indonesia.
Dari awal tersebut
mulailah entomologi menyebar di Indonesia, pada tahap permulaan, ruang lingkup
entomologi ini masih sangat terbatas, yang tidak lain adalah pengenalan dan
pergaulan dengan hama. Terdorong kebutuhan mengenal nama jenis hama, entomologi
berkembang menjadi taksonomi alfa1, terbatas pada pengenalan dan pemberian nama
serangga.
Tahap awal taksonomi ini
di Indonesia tidak pernah berkembang lebih lanjut, hal ini disebabkan karena
sumber daya pendukungnya, ditambah lagi kebutuhan terhadap entomologi yang
terpusatkan pada penanganan hama setempat dan prestise dunia, membatasi
entomologi pada lingkup yang sempit. Sedikit perkembangan terjadi bersama
kegiatan Alfred Russel Wallace. Pada masa 1837-1879, A.R.Wallace melakukan
kegiatan penjelajahan di Sulawesi Utara dan sekitarnya, untuk mengungkapkan
peran dan kedudukan takson serta hubungannya dengan daerah sebarannya.
Perkembangan ini tidak dapat berlanjut karena pengetahuan biologi secara umum
yang menjadi kaitan perkembangan entomologi tersebut belum dimiliki oleh
peneliti entomologi di Indonesia pada waktu itu. Corak entomologi di Indonesia
tetap merupakan taksonomi klasik terbatas pada identifikasi nama ilmiah.
Didorong akan kebutuhan
untuk mengatasi masalah penyakit yang dihadapi oleh para ilmuwan pada waktu
itu, munculah entomologi yang berkaitan dengan penyakit daerah tropika, seperti
malaria dan filariasis. Di sektor pertanian, entomologi dikembangkan untuk
mengatasi masalah gangguan terhadap produksi pertanian, termasuk peternakan,
perikanan, perkebunan, dan kehutanan. Perkembangan entomologi yang berkaitan
dengan pertanian ini mengikuti jalur yang sempit, terbatas pada kebutuhan
menangani masalah-masalah pada komoditi pertanian yang terbatas.
Perkembangan kegiatan
entomologi di Indonesia telah berlangsung tanpa kepastian periode. Tidak ada
indikator yang secara jelas menunjukkan akhir suatu masa atau indikator lain
yang mengawali masa baru. Oleh karena itu, pengelompokan kegiatan entomologi di
Indonesia akan didasarkan pergantian abad. Karena catatan yang dapat digunakan
untuk menarik balik kegiatan entomologi tersedia hanya mulai abad ke-19,
kegiatan entomologi di Indonesia dibagi menjadi era sebelum dan sesudah abad
ke-20. Dalam abad ke-20, kegiatan dapat dikelompokkan menjadi sebelum dan
sesudah Perang Dunia II.
Sebelum Abad ke-20
Kegiatan ilmiah yang mulai mengungkapkan
keadaan fauna pada umumnya – menyangkut pula artropoda – terjadi ketika George
Everhard Rumph atau yang lebih dikenal dengan nama Georgii Everhardi Rumphius
mengirimkan sepucuk surat tertanggal 20 Agustus 1662 kepada Direktur Utama
“East Indies Company” (Vereeniging Oost Indi‘ Companie – VOC). Dalam surat
tersebut dikemukakan permohonannya untuk bekerja mempertelakan berbagai
kelompok makhluk dengan mencakup binatang. Pekerjaan ini terlaksana untuk
kawasan Ambon dan sekitarnya. Kematian Rumphius pada awal abad ke-18 (1702)
mematikan pula pelita penelusuran perkembangan ilmu mengenai binatang pada awal
abad ke-18 ini.
Kegiatan entomologiwan
Eropa di Indonesia ini dan di berbagai kawasan yang masih belum banyak
terjamah, seperti Mesir, India, Birma, Indocina, dan Filipina, merupakan akibat
perkembangan semangat penjelajahan ilmuwan – lebih tepatnya penggemar alam –
yang dipelopori Carolus Linnaeus sejak beberapa dasawarsa sebelum pertengahan
abad ke-18. Berpuluh tahun kegiatan entomologi hanya berkisar pada penemuan
takson baru serangga.
Kegiatan penjelajahan
sebagai dampak karya Linnaeus ini masih terus berlangsung. Pada masa itu,
penjelajahan dan penemuan takson merupakan inti kegiatan biologi. Hasil
penjelajahan yang berupa penemuan dan pertelaan spesies baru akan mengangkat
derajat penemunya. Konsentrasi penjelajahan ditentukan terutama untuk tujuan
pengungkapan unit-unit baru fauna, khususnya serangga. Dalam perkembangan
selanjutnya, pengungkapan unit baru ini mempunyai corak yang sudah berbeda.
Dengan penjelajahan seorang naturalis Alfred Russel Wallace pada tahun-tahun
mendekati pertengahan abad ke-19, kegiatan entomologi di Indonesia bukan saja
mengungkapkan adanya takson, tetapi juga peran dan kedudukan takson dalam
habitatnya serta makna adanya takson terhadap susunan kehidupan di suatu
kawasan. Penjelajahan dengan proyeksi sasaran seperti ini merupakan revolusi ilmu
yang berkaitan dengan makhluk. Perkembangan semacam ini dimungkinkan karena
kegiatan A.R. Wallace kebetulan meliputi dua region utama fauna dengan daerah
peralihannya – yang kini dikenal sebagai Wallacea.
Kesimpulan dari pengamatan
terhadap serangga dan komponen fauna lainnya di kawasan yang terbatas ini
menyamai deduksi yang disusun oleh Charles Robert Darwin. Dari perjalanannya
mengelilingi dunia bersama kapal “The Beagle”, Charles Darwin menyimpulkan data
dan informasi alami yang diperolehnya ke arah pengembangan teori evolusi
hayatinya. Dari deduksi A.R. Wallace terbukti bahwa pengamatan entomologi yang
dikembangkan di Indonesia telah menjadi salah satu titik tumpuan perkembangan
biologi modern (Wallace, 1890). Sayangnya, pengetahuan biologi umum pada waktu
itu belum memadai untuk memanfaatkan penemuan Wallace dan Darwin. Kembalilah
corak kegiatan entomologi di Indonesia kepada yang klasik, yaitu penjelajahan
untuk menemukan takson baru. Walaupun demikian, kegiatan penjelajahan telah
pula menimbulkan dampak sampingan di sisi lain. Timbullah beberapa sisi
terapan, baik yang langsung maupun yang tak langsung, yang menyangkut sektor
pertanian (dalam arti luas) dan kesehatan.
Mengikuti kegiatan
penjelajahan di belantara Nusantara, timbullah pula keluaran tambahan selain
penemuan takson baru. Ada pengaruh kebuasan belantara tropik yang terasa oleh
para penjelajah. Yang sangat terasa ialah gangguan kesehatan yang dialami oleh
para penjelajah dan pejabat pemerintahan yang bukan berasal dari Indonesia
(Snapper, 1945). Gangguan utama ialah penyakit tropik. Tekanan penyakit tropik
mendorong terbentuknya pelayanan kesehatan yang dilembagakan pada tahun 1826.
Beberapa fokus diberi perhatian utama, di antaranya ialah malaria dan
filariasis. Kedua segi kesehatan ini melibatkan serangga dan tentunya
memerlukan pula penelitian dan pengembangan entomologi pada jalur ini. Mulai
dari kejadian inilah secara resmi entomologi kesehatan tumbuh di Indonesia.
Di sektor pertanian
perhatian utama pada waktu itu diberikan kepada pengembangan komoditi ekspor
dan pertanian pangan. Komoditi ini merupakan andalan pemerintah kolonial pada
waktu itu. Justru terbentuknya pemerintahan kolonial ialah karena komoditi ini.
Pada pertengahan abad ke-19, mengikuti perkembangan kultuur-stelsel pada awal
abad tersebut, penelitian mulai diarahkan kepada penggarapan perkebunan. Untuk
keperluan ekspor dari sektor ini pengembangannya berlangsung sejak 20 tahun
sebelum berakhirnya abad ini. Entomologi perkebunan berkembang secara khusus di
samping entomologi pertanian lainnya.
Dalam Abad ke-20
Sebenarnyalah abad ke-20 ini merupakan awal
perkembangan dan pemekaran kegiatan entomologi di Indonesia. Penjelajahan yang
mengungkap-kan penemuan baru serta usaha meningkatkan komoditi ekspor dari
perkebunan dan produksi tanaman pangan menimbulkan kebutuhan membangun
laboratorium sendiri di Indonesia. Permasalahan utama ialah penanganan terhadap
binatang. Inilah alasan utama diresmikannya laboratorium zoologi di Bogor pada
tahun 1901. Sebelum secara resmi berdiri, laboratorium ini telah menggelar
kegiatannya sejak tahun 1894. Inilah pula titik tolak pengembangan entomologi
di Indonesia. Laboratorium ini diberi nama “Landbouw-Zoologische Labortorium”
(Lieftinck dan van Bemmel 1945) diprakarsai oleh Melchior Treub sebagai
Direktur Kebun Raya (‘s Land Plantentuin) dan dipercayakan kepada Koningsberger
sebagai pengelolanya. Kemudian sejak pertengahan tahun 1940-an sampai kini
terkenal dengan nama Musuem Zoologicum Bogoriense (Kadarsan et al. ,1994).
Sejak pendirian laboratorium
ini, kegiatan entomologi di Indonesia – yang penyelesaiannya dilakukan di
Indonesia sendiri – memperlihatkan dua jalur utama. Perpecahan dua jalur ini
tidak dapat dihindarkan karena adanya dua macam kebutuhan yang berbeda, yaitu
tradisi prestise dan kebutuhan ekonomi komersial. Kegiatan entomologi di
laboratorium zoologi di Bogor ini cenderung untuk berfokus pada
taksonomi.
Kegiatan lain entomologi
untuk mengungkapkan keanekaragaman takson berlangsung terus. Kira-kira enam
tahun setelah disediakannya laboratorium entomologi, mulailah berdatangan tamu
peneliti dari luar negeri. Kejadian ini mendorong timbulnya kesadaran terhadap
arti koleksi ilmiah yang berupa spesimen. Dengan kesadaran ini Laboratorium
Zoologi di Bogor yang telah didirikan itu mulai mengadakan ekspedisi
pengumpulan ke daerah-daerah di luar Jawa. Di samping mengirimkan ekspedisi,
lembaga ini memperkaya koleksinya dengan menerima kiriman material ilmiah dari
penyumbang. Walaupun demikian, kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dari luar
negeri, misalnya J.C.T. de Meijere, terus pula berjalan tanpa peninggalan
material untuk dikelola di Laboratorium Zoologi di Bogor.
Ekspedisi dan eksplorasi
terus berlangsung. Ilmuwan maupun amatir yang tinggal di Indonesia atau yang
datang dari luar negeri, menjelajah negeri dan mengumpulkan material.
Determinasi jenis serangga menunjukkan kepentingannya yang makin terasakan
manfaatnya. Pengenalan ini telah meletakkan jembatan yang menghubungkan
penjelajahan dengan penelitian perilaku serangga. Kegiatan inventarisasi dan
identifikasi serangga Indonesia berlangsung untuk memenuhi kebutuhan
pengelolaan perkebunan. Kegiatan ini kemudian berkembang sampai akhirnya
bersambung dengan kegiatan yang dikembangkan di Laboratorium Zoologi di Bogor
pada tahun 1894.
Penelitian yang berkaitan
dengan penjelajahan ini sering dikenal dengan sebutan entomologi murni atau
entomologi dasar. Dalam jalur ini kegiatan terbatas pada pengenalan serta
pertelaan spesies yang ditemukan. Keterbatasan ini sering menimbulkan anggapan bahwa
entomologi dasar kurang bermanfaat. Di sela-sela kerutinan ini muncul
penggarapan terhadap segi lain, misalnya ekologi dan geografi, seperti yang
dilakukan oleh Dammerman (1948) di Kepulauan Krakatau dan terhadap serangga
tanah. Seperti pada jalur lain, kegiatan ini memudar pada masa Perang Dunia II.
Pudarnya entomologi ekologi dan geografi melaju karena berbagai faktor
penyebab. Manfaat yang langsung dirasakan belum jelas. Hasil penelitian
entomologi ekologi dan geografi belum diperlukan pada waktu itu. Oleh kerena
itu, penelitian pada bidang ini menjadi hambar.
Dalam periode sebelum
Perang Dunia II ini terlihat makin banyak ahli yang menekuni entomologi.
Kebanyakan atau hampir semuanya adalah orang Eropa, terutama Belanda. Pada
tahun 1929 didirikan cabang perhimpunan yang berinduk pada yang ada di negeri
Belanda, yaitu Afdeeling Nederlandsche Oost Indi‘ van der Nederlandsche
Entomologische Vereeniging. Dengan pertimbangan (1) lebih banyak anggota yang
berada di Indonesia daripada yang berada di Negeri Belanda, dan kesulitan dalam
komunikasi antara anggota dan Pengurus Pusat, serta (2) kekhasan fauna serangga
daerah tropika, cabang ini menjadi perhimpunan terpisah. Pada tahun 1934,
perhimpunan ini mandiri dengan nama Nederlandsche-Indische Entomologische Vereeniging
(NIEV) yang berkedudukan di Bogor. Kegiatan NIEV terpaksa terhenti karena
adanya Perang Dunia II, tepatnya pada tahun 1941.
Setelah Perang
Dunia Kedua
Sesudah Perang Dunia II
kegiatan entomologi di Indonesia tidak segera bangkit kembali. Perang dan
pendudukan Jepang benar-benar menghentikan laju kegiatan entomologi. Walaupun
demikian, pada akhir tahun 1949, dirintis suatu pendirian “klub” yang akhirnya
menjelma menjadi suatu perhimpunan yang dinamai Entomologische Vereeniging in
Indonesi‘ (EVI – Perhimpunan Entomologi [di] Indonesia). Perhimpunan yang sudah
mulai berdiri ini segera membentuk anggaran dasar yang pada asasnya mirip
anggaran dasar NIEV, yaitu mendorong dan merangsang perkembangan ilmu serangga
di Indonesia. Perhimpunan ini menerbitkan majalah Idea, yang bertahan terbit
sampai tahun 1960. Karena anggaran dasar EVI dinyatakan berlaku sampai tahun
1964, diedarkan surat dari Pengurus Perhimpunan ini untuk mendirikan kembali
perhimpunan entomologi di Indonesia. Baru pada tahun 1970, upaya pendirian ini
berhasil dengan dibentuknya Perhimpunan Entomologi Indonesia di Salatiga pada
tanggal 1 Oktober.
Dalam periode 1950-an
sampai akhir tahun 1960-an kemacetan bertambah menonjol dengan situasi negara
yang tidak memungkinkan pemulihan kegiatan penelitian. Dampak Perang
Kemerdekaan, pemberontakan di beberapa daerah, dan situasi keuangan negara
serta tiadanya tenaga pelaksana, praktis menghentikan perputaran roda kegiatan
entomologi di Indonesia. Keadaan ini berlarut sampai mendekati akhir tahun 1960-an.
Dalam periode kemacetan ini masih sempat dilakukan beberapa kali ekspedisi
pengumpulan oleh Museum Zoologicum Bogoriense serta penelitian terbatas oleh
lembaga-lembaga di lingkungan Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan.
Selain jumlahnya yang amat terbatas, mutunya pun tidak terlalu dapat
diharapkan, apalagi dampaknya.
Dalam suasana
memprihatinkan ini para peneliti dan ilmuwan Belanda yang hampir mendominasi
kegiatan ilmiah di Kebun Raya Bogor, yang menjadi pusat kegiatan biologi dengan
“cabang-cabangnya” dalam botani, zoologi dan mikrobiologi, melakukan
perpindahan massal ke negeri leluhurnya (Adisoemarto, 1999). Eksodus ini
mendorong didirikannya Akademi Biologi pada tahun 1955. Adanya Akademi Biologi
yang juga diperlukan untuk menghasilkan para biologiwan muda harus dilanjutkan.
Rencana Pembangunan Lima
Tahun (REPELITA) Pemerintah Republik Indonesia dimulai pada tahun 1969.
REPELITA ini membangkitkan berbagai kegiatan di Indonesia, termasuk di dalamnya
juga kegiatan entomologi. Sedikit demi sedikit kegiatan mengenai serangga mulai
digerakkan. Arahnya ditentukan oleh kelompok yang ada dan memungkinkan
terjadinya perkembangan.
Dewasa ini Ilmu tentang
Serangga Kedokteran (Medikal Entomology)
telah berkembang dengan cukup pesat dan tidak hanya terbatas pada
penyakit-penyakit yang ditularkan oleh serangga, tetapi juda mencakup berbagai
hal tentang hubungan antara kesejahteraan manusia dan hewan dengan serangga.
sumber :
sumber :
- Budi. 2009. Entomologi di Indonesia (Online) http://matoa.org/entomologi-di-indonesia. diakses pada, 1 november 2014.
- Sembel, D. 2009. Entomologi Kedokteran. Jogyakarta : ANDI
- Anonim.Entomologi dasar.(online). http://xa.yimg.com/.../entomologi+dasar-pembiakan+massal-masalah+khusus.d.. diakses pada, 30 Oktober 2014.
Penulis :
Trie Wahyuni Merta
Ivone Rompas
Azwar Kurniawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar