Senin, 03 November 2014

Sejarah Entomologi Kesehatan



SEJARAH ENTOMOLOGI KESEHATAN

Serangga merupakan kelompok hewan yang terbesar jumlah spesiesnya dibanding hewan yang lain. Saat ini terdapat sekitar 1 juta spesies serangga yang telah berhasil dikenali namun, jumlah spesies yang sebenarnya belum diketahui secara pasti, karena masih banyak yang belum teridenifkasi. Entomologi adalah cabang sains yang mengkaji mengenai serangga.  Kata entomologi berasal dari bahasa Latin, yaitu : “ Entomon" yang berarti "serangga”, dan “logos" yang berarti, "ilmu”.
Perhatian manusia terhadap serangga telah diberikan sejak ribuan tahun yang lalu. Bangsa Mesir Kuno menghubungkan serangga dengan aspek kehidupan keseharian mereka, seperti pertanian. Serangan belalang terhadap tanaman pertanian telah dilaporkan selama pemerintahan Ramses II, 1.400 tahun sebelum Masehi. Serangga juga pernah dihubungkan dengan kenegaraan, misalnya digunakannya tawon endas (Vespa orientalis) sebagai lambang negara Mesir Bawah pada tahun 3100 sebelum Masehi, dan bahkan “ketuhanan”, serta aspek sosial lainnya. Penggunaan kumbang “skarab” sebagai lambang Dewa Matahari Khephri atau Khepera yang disembah, merupakan hal yang tak asing dalam kebudayaan Mesir Kuno. Di Yunani, orang Ephesus (sekarang bagian dari Turki) menggunakan gambar tawon untuk menandai uang logam yang beredar pada tahun 400-an sebelum Masehi (Sheedy, 2005). Kitab Injil juga menyebutkan peran berbagai kehidupan serangga dalam kehidupan manusia. Di dalam Injil Matius (Matius 3:4) ditulis bahwa makanan Yohanes Pembaptis berupa belalang dan madu hutan. Kitab Al Quran (Sura 16) memuat uraian tentang lebah madu. Orang Indian Kuno di Amerika Selatan menggunakan serangga, khususnya kupu-kupu, sebagai inspirasi karya seninya, misalnya untuk motif sulaman dan kerajinan keramik, sedangkan Indian modern menggunakan juga serangga sebagai lambang.
Seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, entomologi juga mendapat sentuhan kemajuan untuk mengimbangi kemajuan ilmu pada umumnya. Seiring pula perkembangan di zaman pembaharuan “renaissance” – pada bagian kedua zaman ini (tahun 1000-1500) – dibarengi dengan penjelajahan manusia ke dalam dunia serangga untuk menumbuhkan entomologi menjadi ilmu yang makin mantap, sehingga kegunaan entomologi dapat ditingkatkan untuk kesejahteraan manusia.
Manfaat entomologi untuk manusia berhubungan dengan hidup sejahtera, yaitu hidup sehat, tercukupi segala kebutuhannya, serta terjamin keamanannya. Dalam bidang kesehatan, entomologi telah membantu manusia mengatasi masalah penyakit yang ditularkan serangga, seperti malaria, demam berdarah, chikukunguya, kaki gajah, kebutaan dan penyakit tidur. Entomologi terbukti pula dapat didayagunakan dalam penyediaan pangan dan bahan industri, misalnya sutera, lak, malam, madu, dan bahkan tubuh serangga sendiri.
Pada  tahun 1347 suatu wabah penyakit menyerang hamper seluruh Eropa. Sekitar sepertiga populasi manusia di Eropa menonggal karena wabah penyakit.  Wabah yang dikenal dengan sebutan mati hitam (black death) atau wabah bubonic  (bubonic plaque) ini menyebabkan ketakutan besar dan memberi dampak yang lebih besar bagi masa depan inggris disbandingkan dengan Negara-negara Eropa yang lain. Penyakit ini disebabkan oleh pinjal tikus yang kini dikenal sebagai  Xenopsylla cheopis (Pulicidae). Mercurialis pada tahun 1477 menyatakan keyakinannya bahwa lalat dapat menularkan penyakit dari tubuh orang sakit atau yang sudah meninggal ke orang lain melalui makanan yang dihinggapi. Pada tahun 1587, seorang brazil bernama Gabriel Soares de Souza menyatakan bahwa lalat menghisap racun dari penyakit patek (Framboesia tropica) dan meninggalkannya pada luka yang terdapat pada orang sehat. Penemuan mikroskop terutama oleh Anthony van Leeunwenhoek pada pertengahan abad ke-17 membuka era baru bagi mikrobiologi. Dengan adanya penemuan tersebut orang dapat melihat mikroorganisme seperti protozoa dan bakteri dengan pembersaran sampai 200 kali. Penemuan mikroskop juga membuka bagi pengembangan entomologi kedokteran. Kemudian, pada 1907 Castellani membuktikan kebenaran hipotesis de Souza dengan mendemonstrasikan bahwa lalat merupakan agen yang menularkan penyakit patek yang disebabkan oleh Treponema pertenue.
Pada akhir abad ke-19 entomologi kedokteran telah berkembang dengan lebih cepat ditandai dengan semakin banyaknya penemuan berbagai jenis penyakit manusia dan hewan yang terbukti dapat ditularkan oleh serangga. Pada 1878, Patrick Manson menemukan nematode, Wucheria bancrofti dalam tubuh nyamuk Culex pipiens quinquefasciatus, yang kemudian bersama dengan para ahli lainnya membuktikan bahwa nyamuk ini merupakan vector penyakit filariasis (kaki gajah) pada manusia. Laveran (1880), menemukan penyebab penyakit malaria pada manusia, yaitu Plasmodium malariae yang hidup sebagai parasite dalam sel darah merah manusia. Sampai akhir abad ke-19 masih banyak lagi jenis-jenis serangga dan tungau yang dibuktikan menjadi vector penyakit pada manusia atau hewan. Diantaranya adalah demam ternak sapi Texas, Babisia bigemina, yang dapat ditularkan oleh lalat tsetse,  Glossina morsitans,  dan penyakit malaria ditemukan oleh  Bastianelli pada tahun 1899 ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Carlos Finlay mengemukakan suatu teori bahwa penyakit demam kuning ditularkan oleh nyamuk (tahun 1880). Teori ini kemudian dibuktikan oleh Komisi Demam Kuning Amerika Serikat pada tahun 1900 yang menyebutkan bahwa sesungguhnya nyamuk Aedes aegypti  adalah vektor utama penyakit demam kuning.
Semakin banyak jenis serangga yang ditemukan berperan penting dalam penyebaran penyakit manusia maupun hewan seperti penyakit change, trypanosomiasis (penyakit tidur), turalemia, onchocerciasis, demam berdarah,encephalitis, cikungunya, dan berbagai jenis penyakit virus lainnya.

Entomologi di Indonesia
Di Indonesia, hubungan manusia dengan serangga ini telah lama disadari, sejak dongeng rakyat dan perumpamaan mulai diceritakan turun-temurun dari mulut ke mulut. Cerita yang juga berbentuk tembang telah mengungkapkan ciri atau peri laku serangga tertentu, tetapi pengetahuan tersebut masih dalam bentuk semu dan samar-samar, belum terwujud sebagai ilmu pengetahuan.
Pada awalnya, entomologi datang ke Indonesia hanya sebagai “tamu”. Ilmu ini masuk ke dan keluar dari Indonesia tanpa meninggalkan bekas karena tidak ada sarana atau perangkat yang tersedia untuk menerimanya. Begitu tamu kembali ke tempat asalnya, kembali pulalah ilmu itu dan meninggalkan Indonesia. Keadaan ini terus berlangsung sampai para ilmuwan entomologi itu menyadari benar perlunya menumbuhkan entomologi di Indonesia sendiri. Gagasan ini tidak muncul ketika pada akhir abad ke-19, tahun 1894, didirikan laboratorium serangga di Bogor. Waktu inilah titik awal diresmikannya penumbuhan entomologi di Indonesia.
Dari awal tersebut mulailah entomologi menyebar di Indonesia, pada tahap permulaan, ruang lingkup entomologi ini masih sangat terbatas, yang tidak lain adalah pengenalan dan pergaulan dengan hama. Terdorong kebutuhan mengenal nama jenis hama, entomologi berkembang menjadi taksonomi alfa1, terbatas pada pengenalan dan pemberian nama serangga.
Tahap awal taksonomi ini di Indonesia tidak pernah berkembang lebih lanjut, hal ini disebabkan karena sumber daya pendukungnya, ditambah lagi kebutuhan terhadap entomologi yang terpusatkan pada penanganan hama setempat dan prestise dunia, membatasi entomologi pada lingkup yang sempit. Sedikit perkembangan terjadi bersama kegiatan Alfred Russel Wallace. Pada masa 1837-1879, A.R.Wallace melakukan kegiatan penjelajahan di Sulawesi Utara dan sekitarnya, untuk mengungkapkan peran dan kedudukan takson serta hubungannya dengan daerah sebarannya. Perkembangan ini tidak dapat berlanjut karena pengetahuan biologi secara umum yang menjadi kaitan perkembangan entomologi tersebut belum dimiliki oleh peneliti entomologi di Indonesia pada waktu itu. Corak entomologi di Indonesia tetap merupakan taksonomi klasik terbatas pada identifikasi nama ilmiah.
Didorong akan kebutuhan untuk mengatasi masalah penyakit yang dihadapi oleh para ilmuwan pada waktu itu, munculah entomologi yang berkaitan dengan penyakit daerah tropika, seperti malaria dan filariasis. Di sektor pertanian, entomologi dikembangkan untuk mengatasi masalah gangguan terhadap produksi pertanian, termasuk peternakan, perikanan, perkebunan, dan kehutanan. Perkembangan entomologi yang berkaitan dengan pertanian ini mengikuti jalur yang sempit, terbatas pada kebutuhan menangani masalah-masalah pada komoditi pertanian yang terbatas.
Perkembangan kegiatan entomologi di Indonesia telah berlangsung tanpa kepastian periode. Tidak ada indikator yang secara jelas menunjukkan akhir suatu masa atau indikator lain yang mengawali masa baru. Oleh karena itu, pengelompokan kegiatan entomologi di Indonesia akan didasarkan pergantian abad. Karena catatan yang dapat digunakan untuk menarik balik kegiatan entomologi tersedia hanya mulai abad ke-19, kegiatan entomologi di Indonesia dibagi menjadi era sebelum dan sesudah abad ke-20. Dalam abad ke-20, kegiatan dapat dikelompokkan menjadi sebelum dan sesudah Perang Dunia II.

Sebelum Abad ke-20
Kegiatan ilmiah yang mulai mengungkapkan keadaan fauna pada umumnya – menyangkut pula artropoda – terjadi ketika George Everhard Rumph atau yang lebih dikenal dengan nama Georgii Everhardi Rumphius mengirimkan sepucuk surat tertanggal 20 Agustus 1662 kepada Direktur Utama “East Indies Company” (Vereeniging Oost Indi‘ Companie – VOC). Dalam surat tersebut dikemukakan permohonannya untuk bekerja mempertelakan berbagai kelompok makhluk dengan mencakup binatang. Pekerjaan ini terlaksana untuk kawasan Ambon dan sekitarnya. Kematian Rumphius pada awal abad ke-18 (1702) mematikan pula pelita penelusuran perkembangan ilmu mengenai binatang pada awal abad ke-18 ini.
Kegiatan entomologiwan Eropa di Indonesia ini dan di berbagai kawasan yang masih belum banyak terjamah, seperti Mesir, India, Birma, Indocina, dan Filipina, merupakan akibat perkembangan semangat penjelajahan ilmuwan – lebih tepatnya penggemar alam – yang dipelopori Carolus Linnaeus sejak beberapa dasawarsa sebelum pertengahan abad ke-18. Berpuluh tahun kegiatan entomologi hanya berkisar pada penemuan takson baru serangga.
Kegiatan penjelajahan sebagai dampak karya Linnaeus ini masih terus berlangsung. Pada masa itu, penjelajahan dan penemuan takson merupakan inti kegiatan biologi. Hasil penjelajahan yang berupa penemuan dan pertelaan spesies baru akan mengangkat derajat penemunya. Konsentrasi penjelajahan ditentukan terutama untuk tujuan pengungkapan unit-unit baru fauna, khususnya serangga. Dalam perkembangan selanjutnya, pengungkapan unit baru ini mempunyai corak yang sudah berbeda. Dengan penjelajahan seorang naturalis Alfred Russel Wallace pada tahun-tahun mendekati pertengahan abad ke-19, kegiatan entomologi di Indonesia bukan saja mengungkapkan adanya takson, tetapi juga peran dan kedudukan takson dalam habitatnya serta makna adanya takson terhadap susunan kehidupan di suatu kawasan. Penjelajahan dengan proyeksi sasaran seperti ini merupakan revolusi ilmu yang berkaitan dengan makhluk. Perkembangan semacam ini dimungkinkan karena kegiatan A.R. Wallace kebetulan meliputi dua region utama fauna dengan daerah peralihannya – yang kini dikenal sebagai Wallacea.
Kesimpulan dari pengamatan terhadap serangga dan komponen fauna lainnya di kawasan yang terbatas ini menyamai deduksi yang disusun oleh Charles Robert Darwin. Dari perjalanannya mengelilingi dunia bersama kapal “The Beagle”, Charles Darwin menyimpulkan data dan informasi alami yang diperolehnya ke arah pengembangan teori evolusi hayatinya. Dari deduksi A.R. Wallace terbukti bahwa pengamatan entomologi yang dikembangkan di Indonesia telah menjadi salah satu titik tumpuan perkembangan biologi modern (Wallace, 1890). Sayangnya, pengetahuan biologi umum pada waktu itu belum memadai untuk memanfaatkan penemuan Wallace dan Darwin. Kembalilah corak kegiatan entomologi di Indonesia kepada yang klasik, yaitu penjelajahan untuk menemukan takson baru. Walaupun demikian, kegiatan penjelajahan telah pula menimbulkan dampak sampingan di sisi lain. Timbullah beberapa sisi terapan, baik yang langsung maupun yang tak langsung, yang menyangkut sektor pertanian (dalam arti luas) dan kesehatan.
Mengikuti kegiatan penjelajahan di belantara Nusantara, timbullah pula keluaran tambahan selain penemuan takson baru. Ada pengaruh kebuasan belantara tropik yang terasa oleh para penjelajah. Yang sangat terasa ialah gangguan kesehatan yang dialami oleh para penjelajah dan pejabat pemerintahan yang bukan berasal dari Indonesia (Snapper, 1945). Gangguan utama ialah penyakit tropik. Tekanan penyakit tropik mendorong terbentuknya pelayanan kesehatan yang dilembagakan pada tahun 1826. Beberapa fokus diberi perhatian utama, di antaranya ialah malaria dan filariasis. Kedua segi kesehatan ini melibatkan serangga dan tentunya memerlukan pula penelitian dan pengembangan entomologi pada jalur ini. Mulai dari kejadian inilah secara resmi entomologi kesehatan tumbuh di Indonesia.
Di sektor pertanian perhatian utama pada waktu itu diberikan kepada pengembangan komoditi ekspor dan pertanian pangan. Komoditi ini merupakan andalan pemerintah kolonial pada waktu itu. Justru terbentuknya pemerintahan kolonial ialah karena komoditi ini. Pada pertengahan abad ke-19, mengikuti perkembangan kultuur-stelsel pada awal abad tersebut, penelitian mulai diarahkan kepada penggarapan perkebunan. Untuk keperluan ekspor dari sektor ini pengembangannya berlangsung sejak 20 tahun sebelum berakhirnya abad ini. Entomologi perkebunan berkembang secara khusus di samping entomologi pertanian lainnya.

Dalam Abad ke-20
Sebenarnyalah abad ke-20 ini merupakan awal perkembangan dan pemekaran kegiatan entomologi di Indonesia. Penjelajahan yang mengungkap-kan penemuan baru serta usaha meningkatkan komoditi ekspor dari perkebunan dan produksi tanaman pangan menimbulkan kebutuhan membangun laboratorium sendiri di Indonesia. Permasalahan utama ialah penanganan terhadap binatang. Inilah alasan utama diresmikannya laboratorium zoologi di Bogor pada tahun 1901. Sebelum secara resmi berdiri, laboratorium ini telah menggelar kegiatannya sejak tahun 1894. Inilah pula titik tolak pengembangan entomologi di Indonesia. Laboratorium ini diberi nama “Landbouw-Zoologische Labortorium” (Lieftinck dan van Bemmel 1945) diprakarsai oleh Melchior Treub sebagai Direktur Kebun Raya (‘s Land Plantentuin) dan dipercayakan kepada Koningsberger sebagai pengelolanya. Kemudian sejak pertengahan tahun 1940-an sampai kini terkenal dengan nama Musuem Zoologicum Bogoriense (Kadarsan et al. ,1994).
Sejak pendirian laboratorium ini, kegiatan entomologi di Indonesia – yang penyelesaiannya dilakukan di Indonesia sendiri – memperlihatkan dua jalur utama. Perpecahan dua jalur ini tidak dapat dihindarkan karena adanya dua macam kebutuhan yang berbeda, yaitu tradisi prestise dan kebutuhan ekonomi komersial. Kegiatan entomologi di laboratorium zoologi di Bogor ini cenderung untuk berfokus pada taksonomi. 
Kegiatan lain entomologi untuk mengungkapkan keanekaragaman takson berlangsung terus. Kira-kira enam tahun setelah disediakannya laboratorium entomologi, mulailah berdatangan tamu peneliti dari luar negeri. Kejadian ini mendorong timbulnya kesadaran terhadap arti koleksi ilmiah yang berupa spesimen. Dengan kesadaran ini Laboratorium Zoologi di Bogor yang telah didirikan itu mulai mengadakan ekspedisi pengumpulan ke daerah-daerah di luar Jawa. Di samping mengirimkan ekspedisi, lembaga ini memperkaya koleksinya dengan menerima kiriman material ilmiah dari penyumbang. Walaupun demikian, kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dari luar negeri, misalnya J.C.T. de Meijere, terus pula berjalan tanpa peninggalan material untuk dikelola di Laboratorium Zoologi di Bogor.
Ekspedisi dan eksplorasi terus berlangsung. Ilmuwan maupun amatir yang tinggal di Indonesia atau yang datang dari luar negeri, menjelajah negeri dan mengumpulkan material. Determinasi jenis serangga menunjukkan kepentingannya yang makin terasakan manfaatnya. Pengenalan ini telah meletakkan jembatan yang menghubungkan penjelajahan dengan penelitian perilaku serangga. Kegiatan inventarisasi dan identifikasi serangga Indonesia berlangsung untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan perkebunan. Kegiatan ini kemudian berkembang sampai akhirnya bersambung dengan kegiatan yang dikembangkan di Laboratorium Zoologi di Bogor pada tahun 1894.
Penelitian yang berkaitan dengan penjelajahan ini sering dikenal dengan sebutan entomologi murni atau entomologi dasar. Dalam jalur ini kegiatan terbatas pada pengenalan serta pertelaan spesies yang ditemukan. Keterbatasan ini sering menimbulkan anggapan bahwa entomologi dasar kurang bermanfaat. Di sela-sela kerutinan ini muncul penggarapan terhadap segi lain, misalnya ekologi dan geografi, seperti yang dilakukan oleh Dammerman (1948) di Kepulauan Krakatau dan terhadap serangga tanah. Seperti pada jalur lain, kegiatan ini memudar pada masa Perang Dunia II. Pudarnya entomologi ekologi dan geografi melaju karena berbagai faktor penyebab. Manfaat yang langsung dirasakan belum jelas. Hasil penelitian entomologi ekologi dan geografi belum diperlukan pada waktu itu. Oleh kerena itu, penelitian pada bidang ini menjadi hambar.
Dalam periode sebelum Perang Dunia II ini terlihat makin banyak ahli yang menekuni entomologi. Kebanyakan atau hampir semuanya adalah orang Eropa, terutama Belanda. Pada tahun 1929 didirikan cabang perhimpunan yang berinduk pada yang ada di negeri Belanda, yaitu Afdeeling Nederlandsche Oost Indi‘ van der Nederlandsche Entomologische Vereeniging. Dengan pertimbangan (1) lebih banyak anggota yang berada di Indonesia daripada yang berada di Negeri Belanda, dan kesulitan dalam komunikasi antara anggota dan Pengurus Pusat, serta (2) kekhasan fauna serangga daerah tropika, cabang ini menjadi perhimpunan terpisah. Pada tahun 1934, perhimpunan ini mandiri dengan nama Nederlandsche-Indische Entomologische Vereeniging (NIEV) yang berkedudukan di Bogor. Kegiatan NIEV terpaksa terhenti karena adanya Perang Dunia II, tepatnya pada tahun 1941.
Setelah Perang Dunia Kedua
Sesudah Perang Dunia II kegiatan entomologi di Indonesia tidak segera bangkit kembali. Perang dan pendudukan Jepang benar-benar menghentikan laju kegiatan entomologi. Walaupun demikian, pada akhir tahun 1949, dirintis suatu pendirian “klub” yang akhirnya menjelma menjadi suatu perhimpunan yang dinamai Entomologische Vereeniging in Indonesi‘ (EVI – Perhimpunan Entomologi [di] Indonesia). Perhimpunan yang sudah mulai berdiri ini segera membentuk anggaran dasar yang pada asasnya mirip anggaran dasar NIEV, yaitu mendorong dan merangsang perkembangan ilmu serangga di Indonesia. Perhimpunan ini menerbitkan majalah Idea, yang bertahan terbit sampai tahun 1960. Karena anggaran dasar EVI dinyatakan berlaku sampai tahun 1964, diedarkan surat dari Pengurus Perhimpunan ini untuk mendirikan kembali perhimpunan entomologi di Indonesia. Baru pada tahun 1970, upaya pendirian ini berhasil dengan dibentuknya Perhimpunan Entomologi Indonesia di Salatiga pada tanggal 1 Oktober.
Dalam periode 1950-an sampai akhir tahun 1960-an kemacetan bertambah menonjol dengan situasi negara yang tidak memungkinkan pemulihan kegiatan penelitian. Dampak Perang Kemerdekaan, pemberontakan di beberapa daerah, dan situasi keuangan negara serta tiadanya tenaga pelaksana, praktis menghentikan perputaran roda kegiatan entomologi di Indonesia. Keadaan ini berlarut sampai mendekati akhir tahun 1960-an. Dalam periode kemacetan ini masih sempat dilakukan beberapa kali ekspedisi pengumpulan oleh Museum Zoologicum Bogoriense serta penelitian terbatas oleh lembaga-lembaga di lingkungan Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan. Selain jumlahnya yang amat terbatas, mutunya pun tidak terlalu dapat diharapkan, apalagi dampaknya.
Dalam suasana memprihatinkan ini para peneliti dan ilmuwan Belanda yang hampir mendominasi kegiatan ilmiah di Kebun Raya Bogor, yang menjadi pusat kegiatan biologi dengan “cabang-cabangnya” dalam botani, zoologi dan mikrobiologi, melakukan perpindahan massal ke negeri leluhurnya (Adisoemarto, 1999). Eksodus ini mendorong didirikannya Akademi Biologi pada tahun 1955. Adanya Akademi Biologi yang juga diperlukan untuk menghasilkan para biologiwan muda harus dilanjutkan.
Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) Pemerintah Republik Indonesia dimulai pada tahun 1969. REPELITA ini membangkitkan berbagai kegiatan di Indonesia, termasuk di dalamnya juga kegiatan entomologi. Sedikit demi sedikit kegiatan mengenai serangga mulai digerakkan. Arahnya ditentukan oleh kelompok yang ada dan memungkinkan terjadinya perkembangan.
Dewasa ini Ilmu tentang Serangga Kedokteran (Medikal Entomology) telah berkembang dengan cukup pesat dan tidak hanya terbatas pada penyakit-penyakit yang ditularkan oleh serangga, tetapi juda mencakup berbagai hal tentang hubungan antara kesejahteraan manusia dan hewan dengan serangga.

sumber : 
  1. Budi. 2009. Entomologi di Indonesia (Online) http://matoa.org/entomologi-di-indonesia. diakses pada, 1 november 2014.
  2. Sembel, D. 2009. Entomologi Kedokteran. Jogyakarta : ANDI
  3. Anonim.Entomologi dasar.(online). http://xa.yimg.com/.../entomologi+dasar-pembiakan+massal-masalah+khusus.d.. diakses pada, 30 Oktober 2014. 
 
 
Penulis : 
Trie Wahyuni Merta
Ivone Rompas
Azwar Kurniawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar