Senin, 03 November 2014

Serangga Sebagai Vektor (II)

B.  Vektor Penyakit Cacing
1.      Vektor Filariasis Limfatik (Nyamuk)
Nyamuk anophelini dan non-anophelini dapat berperan sebagai vektor filariasis limfatik pada manusia dan filariasis binatang. Di Indonesia 3 jenis parasit nematoda penyebab filariasis limfatik pada manusia, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Parasit-parasit ini tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia oleh berbagai spesies nyamuk yang termasuk dalam genus Aedes, Anopheles, Culex, Mansonia, Coquilettidia dan  Armigeres. Beberapa spesies Aedes, Anopheles dan Culex  telah dilaporkan menjadi vektor filariasis bancrofti di perkotaan atau di pedesaan. Vektor utama filariasis di perkotaan adala Culex quiquefasciatus, sedangkan di pedesaan filariasis bancrofti dapat ditularkan oleh bernagai spesies Anopheles seperti An. aconitus, An. bancrofti, An. farauti, An. punctulatus dan An. subpictus. Selain itu dapat juga ditularkan oleh nyamuk Aedes kochi, Cx. Bitaeniorrynchus, Cx. Annulitoris dan Armigeres obsturbans.
Berdasarkan berbagai data yang ada, penyebaran filariasis di Indonesia sangat luas, terutama yang disebabkan oleh B. malayi. Prevalensi terlihat lebih tinggi di daerah yang kurang berkembang dibandingkan dengan daerah yang sudah berkembang. B. malayi yang terdapat di daerah yang sangat maju/berkembang telah mulai hilang. Sebaliknya B. timori hanya terdapat di pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur saja dan tidak ditemukan di pulau-pulau di dekatnya, di Nusa Tenggara Barat.  i NTB hanya ditemukan W. bancrofti saja, padahal infeksi ganda antara B. timori dan W. bancrofti sering dijumpai di daerah endemik B. timori
Perilaku nyamuk sebagai vektor filariassi turut menentukan penyebarluasan penyakit filaria dan timbulnya daerah-daerah endemis filarasis. Di antara perilaku vektor tersebut adalah:
a.    Derajat infeksi alami hasil pembedahan nyamuk alam/liar yang tinggi
b.    Sifat antrofilik dan zoofilik yang meningkatkan jumlah sumber infeksi
c.    Umur nyamuk yang panjang sehingga mampu mengembangkan pertumbuhan larva menjadi stadium onfektif untuk disebarkan/ditularkan
d.   Dominasi terhadap spesies nyamuk lainnya yang ditunjukkan dengan kepadatan yang tinggi disuatu daerah endemi
e.    Mudahnya menggunakan tempat-tempat penampungan air sebagai tempat perindukan yang sesuai untuk pertumbuhan dari telur sampai menjadi dewasa
2.      Vektor Fialariasis Non Limfatik (Lalat)
Vektor filariasis non-limfatik adalah lalat yang termasuk dalam ordo diptera dari kelas insekta. Lalat yang berperan dalam menularkan filariasis ialah genus Simulium dan Simulium Simulium (Black fly) mempunyai badan berukuran 2-3 mm. lalat yang menghisap darah biasanya hanya lalat betina yang aktif pada siang hari dan sore hari. Simulium domnosum berperan sebagai vektor biologik onkosersiasi (River blindness) yang disebabkan oleh nematoda Onchocerca volvulus  di Afrika, parasit ini menyebabkan kebutaan dan menjadi masalah kesehatan masyarakat di Afrika. Simulium metalillicum, S. ochraceum dan S. callidum berperan sebagai vektor Onchocerca volvulus di Amerika.
Chrysops (horse fly = deer fly) badanya sebesar lalat rumah. Lalt jantan umumnya menisap sari tumbuh-tumbuhan sebagai makanan, sedangkan lalat betina mempunyai tipe mulut piercing, sucking dan mengisap darah. Lalat ini aktif menyerang manusia pada pagi dan sore hari. Loaiasis di Afrika ditularkan oleh Chryops silacea dan C. dimidiata. Selain kedua pesies tersebut juga dilaporkan bahwa mikrofilaria Loa-Loa dapat berkembang normal dalam Chrysops centurionis, C. longicornis dan C. distinctipennis.

C.  Vektor Penyakit Virus
1.      Demam Berdarah Dengue
Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus merupakan vektor penularan virus dengue dari penderita kepada orang lain melalui gigitannya. Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penting di daerah perkotaan (daerah urban) sedangkan daerah pedesaan (daerah rural) kedua spesies nyamuk tersebut berperan dalam penularan.
Tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes aegypti ialah pada tempat-tempat penampungan air berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana di dalam atau sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah. Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a.       Tempat Penampungan Air (TPA), yaitu tempat-tempat untuk menampung air guna keperluan sehari-hari, seperti: tempayan, bak mandi, ember, dan lain-lain.
b.      Bukan tempat penampungan air (non TPA), yaitu tempat-tempat yang biasa menampung air tetapi bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti : tempat minum hewan peliharaan (ayam, burung, dan lain-lain), barang bekas (kaleng,botol, ban,pecahan gelas, dan lain-lain), vas bunga,perangkap semut, penampung air dispenser, dan lain-lain.
c.       Tempat penampungan air alami, seperti : Lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang, potongan bambu, dan lain-lain .
Dalam mengendalikan vektor penyakit BDB dapat dilakukan beberapa upaya untuk menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti. Secara garis besar ada 3 cara pengendalian vektor yaitu :
a.       Pengendalian Cara Kimiawi; Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan pada nyamuk dewasa atau larva. Insektisida yang dapat digunakan adalah dari golongan organoklorin, organofosfor, karbamat, dan pyrethoid. Bahan-bahan insektisida dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan (spray) terhadap rumah-rumah penduduk. Insektisida yang dapat digunakan terhadap larva Aedes aegypti yaitu dari golongan organofosfor (Temephos) dalam bentuk sand granules yang larut dalam air di tempat perindukan nyamuk atau sering disebut dengan abatisasi.
b.      Pengendalian Hayati / Biologik; Pengendalian hayati atau sering disebut dengan pengendalian biologis dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan mikroorganisme hewan invertebrate atau vertebrata. Sebagai pengendalian hayati dapat berperan sebagai patogen, parasit dan pemangsa. Beberapa jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia affinis) adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis golongan cacing nematoda seperti Romanomarmis iyengari dan Romanomarmis culiforax merupakan parasit yang cocok untuk larva nyamuk.
c.       Pengendalian Lingkungan; Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan mencegah nyamuk kontak dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada pintu, lubang jendela, dan ventilasi di seluruh bagian rumah. Hindari menggantung pakaian di kamar mandi, di kamar tidur, atau di tempat yang tidak terjangkau sinar matahari.

2.      Japanese B. enchepalitis
Japanese encephalitis merupakan penyakit akut yang ditularkan melalui nyamuk terinfeksi. Virus Japanese encephalitis termasuk famili Flavivirus. Penyakit ini pertama dikenal pada tahun 1871 di Jepang; diketahui menginfeksi sekitar 6000 orang pada tahun 1924, kemudian terjadi KLB besar pada tahun 1935; hampir setiap tahun terjadi KLB dari tahun 1946-1950. Virus Japanese encephalitis pertama diisolasi pada tahun 1934 dari jaringan otak penderitaensefalitis yang meninggal.
Vektor utama dari virus ensefalitis Jepang di Asia Tenggara adalah Culex tritaeniorhynchus, Cx. gelidus dan Cx. vishnu. Nyamuk-nyamuk ini berbiak di sawah, tempat-tempat genangan air dan tempat-tempat permandian. Jenis-jenis nyamuk Culicinae yang lain seperti Aedes spp., Armigeres spp. dan Anopheles spp juga dapat menjadi vektor dari penyakit ini. Nyamuk, Culex tritaeniorrhynchus banyak ditemukan pada persawahan di Sulawesi Utara. Berbeda dengan nyamuk demam berdarah yaitu Aedes aegypti yang aktif pada waktu siang maka nyamuk Culex spp. Ada yang aktif pada waktu siang dan ada yang aktif waktu malam.
Penyebaran penyakit ini tergantung musim, terutama pada musim hujan saat populasi nyamuk Culex meningkat, kecuali di Malaysia, Singapura, dan Indonesia (diperkirakan sporadik, terutama di daerah pertanian). Pengendalian vektor penyakit ini yaitu mengendalikan nyamuk vektor (Culex, Aedes dan Anopheles) bentuk dewasa dengan cara pengasapan (fogging) secara masal dapat menurunkan infeksi virus Japenese enchepalitis dansekaligus virus penyebab demam berdarah dan penyakit malaria.

3.      Chikungunya
Chikungunya disease atau demam Chikungunya adalah satu di antara penyakit tular vektor (nyamuk) yang saat ini banyak terjadi di Indonesia tidak hanya di daerah perkotaan tetapi banyak juga di daerah pedesaan. Penyebab penyakit ini adalah virus chikungunya , yang dikenal dengan nama Alphavirus dari famili Togaviridae dan ditularkan lewat nyamuk genus Aedes. Nyamuk ini berkembang biak di dalam air bersih dan tempat - tempat gelap yang lembab, baik di dalam maupun di dekat rumah. Tempat yang sering dijadikan sarang untuk bertelur adalah drum, batok kelapa, kaleng-kaleng bekas, pot bunga, ember, vas bunga, tangki air tempat penampungan air pada lemari es, ban-ban bekas dan botol-botol kosong serta salah satu yang lain adalah talang atap rumah yang tergenang sisa air hujan.
Nyamuk A. aegypti merupakan vektor Chikungunya (CHIK) virus (alphavirus). Beberapa nyamuk resisten terhadap CHIK virus namun sebahagian susceptibility. Ternyata susceptibility gene berada di kromosom 3. Vektor Chikungunya di Asia adalah A. aegypti, A. albopictus. Di Africa A. furcifer dan A. Africanus
Nyamuk A. aegypti lebih menyukai darah manusia dari pada binatang (antropofilik). Darahnya diperlukan untuk mematangkan telur jika dibuahi oleh nyamuk jantan sehingga menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk menghisap darah sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi antara 3-4 hari. Jangka waktu tersebut satu siklus gonotropik. Nyamuk ini aktif pada siang hari dan mengigit di dalam dan diluar rumah. Mempunyai dua puncak aktifitas dalam mencari mangsa yaitu mulai pagi hari dan petang hari yaitu antara pukul 09.00 – 10.00 WIB dan 16.00 - 17.00 WIB.
Pemberantasan nyamuk demam Chikungunya seperti penyakit menular lainnya, didasarkan atas pemutusan rantai penularan. Beberapa cara untuk memutuskan rantai penularan penyakit demam Chikungunya yaitu:
a. Melenyapkan virus dengan cara mengobati semua penderita dengan obat anti virus.
b. Solusi penderita agar tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain
c. Mencegah gigitan nyamuk/vektor.
d. Immunisasi terhadap orang sehat.
e. Membasmi/ memberantas sarang nyamuk.

4.      Demam Kuning
Demam kuning adalah penyakit demam akut yang ditularkan oleh nyamuk. Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit demam kuning atau yellow fever. Gejala klinis penyakit ini berupa pusing, nyeri punggung, demam dan muntah. Kematian terjadi 5-8 hari setelah terinfeksi oleh virus demam kuning.
Penyakit Demam kuning merupakan akibat dari adanya dua daur pemindahsebaran virus yang pada dasarnya berbeda yaitu kota dan hutan (silvatik). Daur kota dipindahsebarkan dari orang ke orang lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti. Sekali terinfeksi, nyamuk vektor itu akan tetap mampu menyebaban infeksi seumur hidupnya. Demam kuning hutan berjangkit pada hewan liar. Virus demam kuning yang sama ditularkan diantara hewan-hewan tersebut dan kadang-kadang juga terhadap manusia oleh nyamuk selain Aedes aegypti. Ada beberapa nyamuk seperti A. Simponi yang hidup dengan menghisap darah primata yang telah terinfeksi, menyusup ke kebun-kebun desa lalu memindahkan virus tersebut ke manusia. Sekali demam kuning berjangkit di kembali di daerah kota, maka daur kota demam kuning akan dimulai kembali dan kemungkinan akan berkembang menjadi epidemi.
Penyakit Demam kuning dapat dicegah dengan melakukan pembasmian nyamuk A. Aegypti atau dengan menekan jumlahnya hingga taraf yang tidak lagi dapat menyebabkan infeksi terus-menerus. Bentuk pengendalian bentuk silvatik tidak praktis karena populasi virus terpelihara oleh adanya daur hutan. Meski demikian, demam kuning tetap dicegah dengan cara imunisasi. Vaksin yang diizinkan untuk diperdagangkan  di Amerika Serikat dibuat dari galur 17D yang dikembangkan oleh Max Theiler tahun 1937. Vaksinasi dianjurkan bagi orang yang bepergian atau tinggal di daerah yang masih dijangkiti infeksi demam kuning ini.

D.  Vektor Penyakit Riketsia
1.      Demam Semak
Contoh penyakit riketsia yang vektornya arthropoda dan terdapat di Indonesia adalah demam semak (scrub thypus, tsutsugamushi disease, deli koorts). Penyakit ini ditemukan di daerah Sumatra, Jawa, kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Penyebab penyakit ini adalah Rickettsia tsutsugamushi.
Vektor pada penyakit ini adalah tungau Leptotrombidium akamusi, L. deliensis dan L. fletscheri. Leptotrombidium dewasa berukuran kira-kira 1 mm, berkaki 4 pasang, badanya berbulu, hidup sebagai pemangsa artropoda lain dan biasanya pemakan tanaman. Hanya satadium larva yang mengisap darah mamalia dan manusia. telur tugau ini diletakkan ditanah atau di tangkai daun tanaman rendah seperti rerumputan dan semak. Setelah telur menetas, akan kelra larva Leptotrombidium yang berkaki 3 pasang. Larva akan mencari mangsanya untuk mengisap darah yaitu burung, tikus, mamalia dan manusai yang berada  di dekatnya. Setelah selesai larva menjatuhkan diri ke tanah dan berubah menjadi stadium nimfa dan kemudian menjadi dewasa.
Sejak larva Leptotrombidium mendapatkan infeksi Rickettsia sampai menjadi larva generasi berikutnya masih tetap infektif. Ini merupakan penularan yang terjadi ecra transovarian. Pertumbuhan dari telur sampai menjadi dewasa memrlukan waktu 1-2 bulan.
Gejala klinis penyakit ini berupa kepala pusing (post orbital), apati, malaise, limfadenitis dan escar. Prnyakit ini dapat menyebabkan kematian penderita dan dilaporkan angka kematian 1-60%.
E.  Vektor Penyakit Sampar
Secara endemi penyakit ini ditemukan di daerah Jawa Tengah dan pada tahun 1968 dilaporkan epidemi yang melanda BOyolali dengan banyak kematian. Pes disebabkan oleh bakteri yang disebut Yersinia pestis. Vektor penyakit pes adalah Xenopsylla cheopis, Stivalius cognatus dan  Neopsylla sondaica.
Xenopsylla cheopis, Stivalius cognatus dan  Neopsylla sondaica termasuk ordo Siphonaptera, berbadan pipih  laterolateral dan berukuran kecil 1,4-4 mm. pinjal ini hidup sebagai parasit tikus ladang dan bersarang diantara bulu tikus. Metamorfosis yang dialami ialah metamorfosisi sempurna. Telur yang diletakkan di atas tanah, setelah 2-12 hari menetas menjadi larva yang bentuknya seperti ulat bulu; larva setelah 1-2 minggu tumbuh menjadi pupa  dan akhirnya menjadi dewassa. Pertumbuhan dari telur sampai menjadi memrlukan waktu secepat-cepatnya 18 hari.
Gejala klinis dari penyakit pes yaitu Pinjal akan menginfeksi manusia melalui gigitannya dan juga melalui tinja yang mengandung Y. pestis yang masuk melalui luka gigitannya (anterior inokultatif dan posterior kontaminatif). Bakteri yang masuk mula-mula menyebabkan peradangan dan pembesaran kelenjar limfe kemudian terbentuk benjolan atau bubo. Bubo dapat mencapai diameter 2-10 cm yang biasanya terdapat dekat glandula femolaris dan glandula aksilaris. Kelainan ini disebut pes bubo (bulbonic plague). Jika Y. pestis yang telah berkembangbiak masuk ke dalam peredaran darah, baik berasal dari bubo atau gigitan pinjal, disebut pes septikemia. Jika Y. pestis masuk ke dalam paru, baik berasal dari bubo maupun dari peredaran darah atau karena gigitan pinjal, kelainan pada paru disebut pes paru. Penderita pes dapat meninggal dalam waktu 2-3 hari setelah infeksi jika tidak cepat diobati. Cara penularan pes adalah propagatif.




DAFTAR PUSTAKA

Adrial. 2013. Pengendalian Vektor Filariasis. (Online) cardiofiles.com/…/pengendalian-vektor
Anonim. 2010. Karakteristik Penderita Demam Berdarah Dengue. (Online) respository.usu.ac.id/bitstream/…/chapterII.pdf
Anonim. 2010. Hubngan Faktor-Faktor Lingkungan Fisik Dengan Kejadian Penyakit Chikungunya di Desa Tanah Raja. (Online) respository.usu.ac.id/…/chapterII.pdf
Hadi, U. 2011. Penyakit Menular Vektor: Penyakit Chikungunya. (Online) upikke.staff.ipb.ac.id/files/penyakit-tular-vektor
Maha, M. 2012. Japanese Encephalitis. Jakarta: CDK Vol. 39 (3) Hal. 349-350
Nugraeni, D. 2008. Virus Demam Kuning (Online) mikrobia.files/…/dian-nugraheni.pdf
Sembel. D. 2010. Penyakit Virus Ensefalitis Jepang. (Online) unsrat.ac.id/artikelprofsembel_2.pdf
Subianto, dkk. 2008. Panduan Praktikum Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia



Penulis :
Moh. Redho Dilapanga,
Moh. Efendi Pomuri,
Frinny Rumerung














Tidak ada komentar:

Posting Komentar